Assalamualaikum semua..semoga artikel kutipan ini bermanfaat bagi kita semua dalam menyambut sang Tamu Agung yang segera tiba..yea! nk raya! hehe~
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..” (QS Al-Baqarah 2:185)
Berdasarkan firman Allah tersebut di atas, selain sebagai bulan puasa, syahrul shiyam, Ramadhan juga merupakan syahrul Quran.
Maka bukti bahwa kita telah menjadikan Ramadhan sebagai Syahrul Quran apabila kita telah melaksanakan semua prinsip yang ada di dalam petunjuk pelaksanaan berinteraksi dengan Al Quran sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW.
Karakter-karakter dalam berinteraksi dengan Al Quran supaya maksimal hubungan kita dengan Al Quran dalam bulan Ramadhan dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah sebagai berikut.
Pertama, adanya penyibukan diri dengan Quran.
Dalam sebuah hadits qudsi diriwayatkan, Allah SWT telah berfirman, ”Barangsiapa yang disibukkan dengan Al Qur’an dan berdzikir kepada-Ku, hingga tidak sempat meminta kepada-Ku, maka aku akan memberikan apa yang terbaik yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta. Dan keutamaan firman Allah atas perkataan makhluk-Nya adalah seperti keutamaan Allah atas semua makhluknya.” (HR. Turmudzi)
Dalam hadits ini kita menggarisbawahi kata disibukkan. Kata disibukkan di sini menunjukkan bahwa di antara interaksi kita dengan Al Quran adalah penyibukan diri kita dengan Al Quran. Penyibukan itu berarti kita bersedia untuk menjadikan sebagian besar waktu kita untuk Al Quran, maupun tetap memperhatikan keseimbangan dengan kegiatan lain dengan untuk Al Quran, sehingga kita tetap berada dalam terminologi sibuk dengan Al Quran.
Maka tidak mungkin kita bisa sibuk dengan Al Quran kecuali bahwa kita harus bisa mewaspadai waktu-waktu kita agar jangan sampai tersedot oleh hal-hal lain, jangankan yang maksiat, bahkan yang mubah pun harus diwaspadai jangan sampai terjadi berlebihan, seperti tidur. Tidur itu mubah, tapi karena ini Ramadhan, maka harus diwaspadai, jangan sampai waktu kita tersedot untuk tidur yang berlebihan, sehingga kita bukannya sibuk dengan Quran, tapi sibuk dengan tidur, atau hal mubah lainnya seperti televisi dan seterusnya.
Mereka yang sudah berhasil menyibukkan diri dengan Al Quran, bukan berarti kemudian akan kehilangan kesempatan-kesempatan bagian dari kehidupan dunia ini. Mereka tetap orang yang dapat hidup secara normal, secara standar, tanpa harus menghilangkan kesempatan-kesempatan kehidupan duniawi ini.
Maka tidaklah orang yang meyibukkan dengan Al Quran, melainkan dijanjikan, ”Aku berikan kepadamu dengan pemberian yang lebih baik daripada yang diberikan kepada orang-orang yang berdoa.”
Jadi dengan “sibuk dengan Al Quran” itu, seseorang akan mendapatkan semua yang didapatkan oleh orang beriman pada umumnya. Karena ketika bersama Al Quran, otomatis kita beritighfar, otomatis kita minta surga, otomatis kita bertasbih, bertahlil, semua bentuk permintaan kita kepada Allah ada di dalam Al Quran ini. Otomatis generasi kita generasi yang baik, karena ketika sampai di Al Furqon kita pasti membaca Robbanaa hablanaa min azwaajina wa dzurriyyatina qurrota a’yun, dan seterusnya.
Kalau kita mengambil pelajaran umat Islam terdahulu, mungkin orang sekarang akan menilai ”sibuk dengan Al Quran” yang ekstrim, karena hampir memutus semua kebiasaan yang ada.
Kalau masyarakat Islam terdahulu, bahkan para ulama sampai memutus sementara hubungan dengan masyarakat, jadi tidak ada lagi yang mengajar hadits, fikih, tafsir. Semua ulama libur mengajar, Ramadhan khusus untuk menyibukkan diri.
Tapi kalau hal ini kurang cocok di negeri ini, karena masyarakat ini di luar Ramadhan saja tidak mau mengaji, nah, kalau para ustadznya memutus pengajian selama bulan Ramadhan, maka masyarakatnya tambah tidak bertemu lagi dengan pengajian. Karena masyarakat kita, baru mau mengaji begitu Ramadhan.
Kita juga dapat mengambil hikmah dari bagaimana ”sibuk dengan Al Quran”-nya Imam Asy-Syafii yang sepanjang hari selalu selesai sekali khatam, terlepas catatan-catatan yang ada, atau benar atau tidaknya.
Hal itu menjadi bukti bahwa dalam hidup kita harus ada ”sibuk dengan Al Quran”, sehingga ketika di luar Ramadhan belum bisa ”sibuk dengan Al Quran”, maka di Ramadhan inilah kesempatan untuk menyibukkan diri dengan Al Quran.
Walaupun untuk sebuah proses pendidikan bisa jadi setiap kita memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Misalkan bagi yang sangat sibuk, bisa khatam satu kali dalam bulan Ramadhan itu sudah prestasi yang bagus sekali.
Sedangkan bagi yang pernah bisa khatam satu kali selama Ramadhan, sesungguhnya punya kemampuan untuk dua kali khatam, sehingga kemampuan ”sibuk dengan Al Quran”-nya meningkat. Bagi yang pernah 2 kali, maka sesungguhnya punya potensi untuk 3 kali khatam, dalam rangka ”sibuk dengan Al Quran”, dan seterusnya.
Secara standar untuk kehidupan yang masih manusiawi, sesungguhnya kita punya kekuatan untuk khatam Al Quran dalam Ramadhan itu kurang lebih sampai 10 kali. Kalau kita mau merintis, kemampuan ke sana sebenarnya ada, asal mau fokus. Buat 3 hari khatam, 3 hari khatam lagi, 3 hari khatam lagi dan seterusnya.
Untuk bisa mencapai hal itu, diperlukan fokus, dan kerjasama semua pihak, adanya keluarga di rumah yang saling mendukung. Serta diperlukan kemampuan baca yang sudah lancar, antara penglihatan dan pengucapan sudah cepat, bukan lihatnya kapan, bacanya kapan. Insya Allah bisa.
Pada akhirnya, disesuaikan pada setiap diri kita masing-masing, yang penting selalu ada peningkatan dari tahun ke tahun.
Kedua, al man-u, tercegah.
Rasulullah bersabda: ”Puasa dan Quran itu nanti di hari kiamat memintakan syafaat seseorang hamba. Puasa berkata: Ya Allah, aku telah mencegah dia memakan makanan dan menyalurkan syahwatnya di siang hari, maka berilah aku hak untuk memintakan syafaat baginya.
Dan berkata pula Al Quran: Ya Allah, aku telah mencegah dia tidur di malam hari (karena membacaku), maka berilah aku hak untuk memintakan syafaat baginya. Maka keduanya diberi hak untuk memintakan syafaat.” (HR. Ahmad, Hadits Hasan)
Kata ”mencegah” di sini, dimaksudkan mencegah tidur. Artinya, bilamana Al Quran itu mencegah kita untuk melakukan aktifitas-aktifitas mubah kita, khususnya tidur, khususnya lagi di waktu malam, serta aktifitas-aktifitas mubah yang lain. Mungkin tiap hari kita mempunyai jatah nonton tv, nonton berita, trus dialog, trus, tidak selesai-selesai. Untuk Ramadhan, sebaiknya stop dulu semua, tak ada tv dulu.
Maka di sini ada “mencegah”, sejauh mana Al Quran bisa mencegah berbagai aktifitas mubah kita, apalagi yang maksiat, maka waktu dan aktifitas kita difokuskan untuk al Quran. Sehingga Al Quran mencegah diri kita dari bersantai, dari lalai, melamun, hatta mengobrol. Semua waktu dan aktifitas menjadi sangat berarti karena Al Quran.
Ketiga, at takrir, penghargaan.
Rasulullah bersabda, “Tidak boleh hasad (iri) kecuali dalam dua perkara, yaitu: orang yang dikaruniai Allah Al-Qur’an lalu diamalkannya pada waktu malam dan siang, dan orang yang dikaruniai Allah harta lalu diinfakkannya pada waktu malam dan siang”. (Hadits Muttafaq ‘Alaih). Yang dimaksud hasad di sini yaitu mengharapkan seperti apa yang dimiliki orang lain.
Penghargaan ini tekait dengan perasaan dalam diri. Maka hadits tersebut merupakan dorongan dari Rasulullah agar setiap orang beriman punya perasaan tentang keagungan Al Quran di dalam dirinya, perasaan nilai yang sangat berarti.
Kalau menginginkan hal yang terkait dengan duniawi semua sudah bisa, lihat rumah bagus, pengen, mobil bagus, ingin. Nah, bagaimana kemudian dalam diri orang beriman bisa punya perasaan, keinginan, untuk merasakan nikmat Al Quran. Karena hanya dengan adanya keinginan ini, maka akan ada kompetisi, artinya kita akan merasa termotivasi ketika melihat orang lain lebih rajin dari diri kita.
Misalnya, ketika Ramadhan sudah tanggal 5, “Kamu sudah berapa juz?” Ketika melihat saudaranya sudah 15 juz, saya koq baru 5 juz. Maka dia termotivasi untuk lebih banyak lagi membaca Al Quran. Itu namanya at takrir, adanya perasaan penghargaan.
Bukan sebaliknya, dia malah mencari pembenaran terhadap dirinya, ”Kamu mah enak, ga punya bayi, saya sih punya.” Bayi jadi disalah-salahkan. Kalaupun tidak bisa sama, minimal berusaha miriplah, misal 7-8 juz. Saat tanggal 10 Ramadhan, kamu koq sudah khatam, saya baru 15 juz, ”Masak kalah sama saudara saya,” maka meningkatlah motivasinya untuk memperbanyak membaca Al Quran.
Jadi dengan sikap seperti itu, akan terasa bahwa pergaulan kita sebagaimana hadits yang diungkapkan Rasulullah, bahwa keberadaan orang beriman itu adalah bagaikan cermin bagi saudaranya, “Saya kalah jauh bacaan Quran dengan saudara saya, berarti saya kurang mujahadah.”
Di balik mungkin kita dalam kondisi belum mampu, tapi kalau motivasinya bertambah, belum mampunya kita, pasti akan meningkat. Ibarat tadi dapatnya 5 juz, termotivasi jadi 7 juz. Peningkatan ini sangat mungkin terjadi kalau memiliki motivasi yang kuat.
Itulah tiga prinsip dalam berinteraksi dengan Al Quran agar terjadi interaksi yang maksimal selama bulan Ramadhan sesuai dengan taujih Robbani dalam Al Baqarah ayat 185 di atas. Sehingga tiap tahun tidak hanya terjadi interaksi yang rutin, dari dulu sampai sekarang, setiap kali ditanya tentang kegiatannya di bulan Ramadhan, “Biasa, baca Al Quran.”
Nah, sekarang coba ditingkatkan, baca al Quran yang seperti apa? Kita ikuti petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW, agar kemiripan interaksi kita seperti petunjuk Rasulullah, supaya lebih memperdekat dengan janji-janji Allah yang lain, ada janji syafaat, janji pembelaan, janji masuk surga sampai tingkat tertinggi dan seterusnya akan bisa kita raih, insya Allah.
P/S : Mari bersama jadikan Ramadhan ini yang terbaik dalam hidup kita, Semoga diberkati dan dirahmati oleh Allah SWT..(^____^)